Monday, November 23, 2020

Rizal Ramli Sebut RI Pengemis Utang, Masa Sih? | PT Rifan Financindo


PT Rifan Financindo  -   Utang bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi utang mencerminkan ketidakmandirian dan ketergantungan dalam bertahan hidup.

Namun di sisi lain, utang juga bisa dipandang sebagai keinginan untuk maju. Utang bisa menjadi alat menuju kehidupan yang lebih baik agar tidak terjebak dalam kondisi yang begitu-begitu saja.


Seperti dikutip dari riset CNBC Indonesia Pandangan itu bisa disematkan dalam pengelolaan anggaran negara. Kebijakan fiskal yang ekspansif diharapkan mampu mendorong ekonomi terus tumbuh dan kesejahteraan rakyat membaik.


Apalagi saat ini dunia sedang menghadapi tantangan maha berat bernama pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Pandemi ini terpaksa membuat masyarakat berjarak, tidak bisa melakukan aktivitas dengan normal seperti dulu atas nama penegakan protokol kesehatan.


Alhasil, dua sisi ekonomi terpukul sekaligus, pasokan dan permintaan. Ekonomi dunia pun masuk jurang resesi, pertama sejak krisis keuangan global 2008-2009. Bahkan skalanya lebih dahsyat, disebut-sebut sebagai krisis terparah sejak Depresi Besar pada 1930-an.


Pembatasan sosial (social distancing) membuat ekonomi mati suri. Dunia usaha dan rumah tangga lesu. Pendapatan anjlok, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di mana-mana.


Ini membuat setoran pajak melorot. Di Indonesia, penerimaan pajak dalam negeri pada Januari-September 2020 tercatat Rp 892,44 triliun. Anjlok 14,13% dibandingkan periode yang sama tahu sebelumnya.

Meski sumber utama penerimaan negara yaitu pajak sedang lesu, pemerintah tidak bisa (dan tidak boleh) angkat tangan. Negara harus hadir menjamin kehidupan yang layak bagi kemanusiaan untuk seluruh rakyat, seperti amanat konsitusi.


Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun menggulirkan stimulus fiskal yang diberi nama program Pemulihan Ekonomi Nasional. Total anggarannya mencapai Rp 695,23 triliun yang dibagi untuk:

- Kesehatan Rp 87,93 triliun.

- Perlindungan sosial Rp 239,53 triliun.

- Sektoral Kementerian/Lembaga (K/L) dan pemerintah daerah Rp 70,1 triliun.

- Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Rp 128,21 triliun.

- Korporasi Rp 48,85 triliun.

- Insentif usaha Rp 120,61 triliun.


Tanpa dukungan setoran pajak, sementara pemerintah wajib mengatasi dampak pandemi virus corona, mau tidak mau sumber pembiayaan datang dari utang. Tanpa utang, pemerintah tidak akan punya sumber daya untuk menangani pandemi. Tentu bukan sesuatu yang kita inginkan.


Kebutuhan penanganan pandemi membuat utang pemerintah membengkak. Per akhir September 2020, total utang pemerintah tercatat Rp 5.756,87 triliun atau 36,41% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Ekonom Rizal Ramli pun angkat suara. Eks Menko Kemaritiman di pemerintahan Presiden Jokowi periode I menyatakan utang pemerintah semakin menumpuk dan parah.



Apakah penyataan Rizal benar? Apakah bunga surat utang semakin mahal?

Kalau benar, maka bisa jadi mencemaskan. Sebab mayoritas utang Indonesia adalah dalam bentuk obligasi alias Surat Berharga Negara (SBN). Per akhir September 2020, utang dalam SBN adalah Rp 4.892,57 triliun atau hampir 85% dari total utang pemerintah.

Namun kalau melihat data di pasar, sejatinya bunga SBN semakin rendah. Ini terlihat dari imbal hasil (yield) SBN yang bergerak turun.

Pada 20 November 2020 pukul 12:40 WIB, yield SBN seri acuan tenor 10 tahun berada di 6,208%. Sejak akhir 2020 (year-to-date), yield instrumen ini turun 89 basis poin (bps).

Bahkan ke depan sangat mungkin yeld akan terus turun. Citi memperkirakan yield SBN tenor 10 tahun bisa terkoreksi sampai ke kisaran 5,8%.

"Kami mengambil posisi overweight terhadap obligasi pemerintah Indonesia. Kami memperkirakan yield SBN 10 tahun akan melandai dan turun ke kisaran 5,8%," sebut riset Citi.

Proyeksi itu bukan ngadi-ngadi. Investor memang semakin nyaman memegang SBN. Kepercayaan yang meningkat ini menurunkan premi risiko terhadap obligasi pemerintah, yang dicerminkan dalam Credit Default Swap (CDS).

Saat kepercayaan investor semakin tinggi, maka minat terhadap SBN tentu mengikuti. Peningkatan permintaan akan menurunkan yield, dan kemudian kupon yang harus dibayar oleh pemerintah. Beban utang pun bakal lebih ringan.

Sumber: Finance.detik

 PT Rifan Financindo

No comments:

Post a Comment