Thursday, November 16, 2023

Seruan Boikot Produk Pro Israel Bikin Saham Perusahaan Turun & Potensi PHK

Seruan boikot produk pro Israel yang terus menggema berdampak pada turunnya kinerja saham perusahaan dan menimbulkan potensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mande mengatakan, kondisi pandemi Covid-19 telah menggerus keberlangsungan bisnis ritel. Belum cukup sampai di situ, masalah geopolitik dunia pun bermunculan mulai dari perang Rusia-Ukraina hingga Israel-Palestina.


Roy mengatakan, pihaknya sangat mengapresiasi bahkan mendukung aksi perdamaian dan kemanusiaan yang digelar di berbagai kesempatan. Namun aksi boikot produk yang diduga terafiliasi Israel ini mendatangkan pengaruh besar bagi industri hingga penurunan penjualan.


Penurunan tersebut akhirnya dapat berpengaruh ke operasional bisnis. Akibat lanjutannya, Roy mengatakan, ada potensi besar terhadap penurunan ekonomi RI, bahkan hingga bisa berujung langkah pemutusan hubungan kerja (PHK).


"Ada produktivitas di situ. Produktivitas di mana itu mempekerjakan temen-temen kita juga. Bisa dibayangkan begitu tergerus produsen, konsumen, investasi, pertumbuhan bisa nggak terjadi, bahkan yang kita nggak mau, PHK," katanya dalam konferensi pers di Epicentrum Walk, Jakarta Selatan, Rabu (15/11/2023).


Sebagai dampak lanjutannya, kondisi ini juga berpotensi mendatangkan pengaruh ke saham perusahaan. Roy menilai, nantinya minat investor terhadap perusahaan-perusahaan terkait bisa ikut turun karena melihat turunnya operasional dari perusahaan terkait.


"Misalkan perusahaan jadi setop produksi. Sahamnya akan tergerus kan. Wah ini berhenti nih, karena nggak ada penjualan. Akhirnya dampaknya ke investor. Saham produk itu akan kurang diminati. Produktivitasnya kan berubah itu mulai kelihatan. Bukan pasti berubah, karena beberapa perusahaan pasti bertahan. Ini ke macem-macem, investasi, saham, tenaga kerja, dan lain-lain," pungkasnya.


Di samping itu, menurutnya kondisi ini juga akan mengganggu hak-hak konsumen dalam memilih produk. Dalam hal ini, ada potensi sejumlah konsumen kesulitan mendapatkan produk-produk yang masuk ke dalam daftar boikot, padahal bisa saja produk itu memang tidak dapat digantikan dengan produk lainnya.


"Ada hak konsumen yang perlu dilindungi di tengah seruan aksi boikot dan pertimbangan dampak ekonomi secara lebih luas," kata Roy.


"Konsumsi masyarakat berkontribusi juga bagi ekonomi, kan 51,8% dari konsumen. Berbagai negara maju sekarang, Jepang, Amerika, gak lebih dari 2% pertumbuhannya, bahkan Eropa 0,1-0,2%. Kita bisa 5% (berkat konsumsi)," sambungnya.


Senada, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Pemasok Pasar Modern Indonesia (AP3MI) Uswati Leman Sudi mengatakan, aksi ini akan berpotensi menurunkan transaksi di pasar modern hingga 50%. Pasalnya, mayoritas barang yang ada dalam boikot tersebut merupakan produk pareto.


Adapun produk pareto sendiri barang yang berkontribusi hingga 80% dari produksi di pasar, namun kontribusi ke transaksi hanya 20%. Umumnya produk pareto adalah produk konsumer seperti sabun, sampo, hingga susu dalam kemasan.


"Pengurangan penjualan produk pareto biasanya dari isu yang kecil dan berkembang. Mungkin transaksi di pasar hilir bisa berkurang sampai 50% dan target ekonomi pemerintah akan sulit tercapai," kata Uswati dalam kesempatan yang sama.


Uswati mengatakan, pihaknya sangat mendukung langkah kemanusiaan yang dilakukan semua pihak. Namun ia berharap pemerintah juga akan hadir dengan langkah tegas dalam membantu industri ritel menghadapi tantangan ini.


"Kami juga sangat paham dan mengerti situasi saat ini. Apakah bentuknya statement atau himbauan dari beberapa pihak agar daerah tertentu tak membeli produk tertentu. Maksud kami jangan terlalu lama pemerintah ambil statement. 1 minggu bisnis bergulir, kategori yang dimaksudkan akan gerus bisnis. Sementara pemerintah pengen ekonomi jangan turun, inflasi jangan naik. Kalau dibiarkan objektif pemerintah pasti tak tercapai," pungkasnya.


Sumber : Finance.detik

No comments:

Post a Comment